Pendakian Gunung Sumbing Via Garung

Maret 13, 2019

Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Semeru dan Slamet. Serta merupakan gunung tertinggi ke dua di provinsi Jawa Tengah. Gunung yang memiliki ketinggian 3371 mdpl ini juga terikat nama dengan triple S. Para pendaki sering menjadikan sebuah target untuk bisa mencapai puncak triple S tersebut, yaitu puncak Sindoro, Sumbing dan Slamet. Ketiga gunung ini juga persis terletak di provinsi yang sama, Jawa Tengah dan saling berdekatan satu sama lain. 
Februari lalu, tepatnya tanggal 16-17 Alhamdulillah aku berkesempatan menapakkan kaki di puncak gunung ini lewat jalur Garung yang terletak di desa Butuh Lor, Garung, Wonosobo. Dari pengalaman mendaki tersebut ada beberapa hal yang dapat aku simpulkan. Semoga bisa menjadi referensi bagi teman-teman yang juga sedang berencana untuk menikmati keindahan alam ciptaanTtuhan dari puncak tertingginya. 
Pendakianku kali ini berjumlahkan 17 orang. 13 orang berangkat bersama dari Jakarta menggunakan mobil sewaan, elf dan 4 orang lainnya bertemu langsung di basecamp Garung, sesuai dengan kesepakatan. Seperti biasa juga perjalanan dimulai hari Jum’at malam dengan asumsi Sabtu pagi sudah sampai basecamp. Re-packing, mengecek perlengkapan, sarapan, simaksi dan tak lupa juga untuk membungkus nasi perbekalan makan siang di jalur pendakian nantinya. Basecamp Garung ini menurutku cukup luas dan bersih. Selain itu juga banyak berjejeran warung-warung yang menyediakan ketersediaan urusan perut sekaligus bisa rehat sejenak di sana terlebih dahulu, kalau-kalau tidak mau berbaur di basecamp
Pukul 08.00 pagi Sabtu itu Alhamdulillah rombonganku sudah sampai basecamp, persiapan dan memulai pendakian tepat di jam 09.45. Lumayan waktu buat bersantai sejenak sambil menatap Sindoro di depan mata dan Sumbing di belakang. Walau pagi itu Sindoro dengan gagahnya berdiri sedangkan Sumbing berselimut kabut. Bismillah, pokoknya kami semua optimis besok malah Sumbing yang cerah memesona.
Puncak Sindoro dari basecamp Sumbing
            Pukul 10.15 pagi itu aku beserta tim sudah berada di POS 1 Malim. Trek langsung nanjak dan mirip-mirip trek Prau via Patak Banteng. Karena musim hujan tentulah trek juga didominasi licin. Jadi harus ekstra hati-hati. Sebelum POS 2 ada 2 warung yang berdiri, lumayan bisa buat istirahat dan jajan buah semangka. Atau kalau mau beli tambahan perlengkapan air minum serta mencicipi gorengan panas. 
Pukul 11.15, itu artinya 1 jam dari POS 1 menuju POS 2 Genus. Di POS 2 ini juga ada sebuah warung. Lumayan sembari istirahat dapat bercengkrama terlebih dahulu dengan teman satu tim yang notabone baru pertama kali bertemu di pendakian ini. Bisa dibilang pendakianku kali ini adalah gabungan pendaki dari Jogja, Trenggalek, Depok, Bekasi, Jakarta, Tangerang dan Tangerang Selatan. Aku agak lama istirahat di pos ini. Karena harus menunggu dulu teman-teman yang masih di belakang. Setelah semua sampai baru pendakian dilanjutkan kembali menuju pos berikutnya. 30 menit setelahnya, tepatnya 11.45 pendakian menuju POS 3 dilanjutkan.
Nah, diantara POS 2 dan POS 3 ini ada sebuah jalur yang sangat fenomenal. Yap, ini dia Engkol-Engkolan-nya Sumbing. Bagaimana rasanya? Entahlah. Susah untuk digambarkan dengan kata-kata. Treknya aduhai mantap. Tanjakan tanpa ampun, pakai tali dan tentu juga identik licin. Kalau aku boleh memberi saran, ketika sampai di trek ini, tarik nafas dalam-dalam dan hempuskan pelan. Lalu berdo’a, menundukkan kepala ke bawah dan mulailah berjalan. Jangan sesekali melihat ke atas. Bakalan menyesal. Hehe. Pokoknya Engkol-Engkolan memang paling aduhai menurutku. Ketika turun dari sini (keesokan harinya) hujan turun mengguyur. Wassalam. Aku hanya bisa tertawa dalam dan merosot pelan saja bak seluncuran daripada babak belur terpeleset sana-sini karena memang model treknya gersang.
Menatap Engkol-Engkolan
         Sesampainya di atas Engkol-Engkolan aku kembali beristirahat. Menunggu teman di belakang dan menyemangati mereka. Di sini jugalah aku menyantap perbekalan makan siang yang dibungkus dari warung di bawah tadi. Selain itu kembali menyiapkan tenaga karena tanjakan berikutnya persis tampak di depan mata. Dari atas Engkol-Engkolan ini trek berikutnya memang didominasi tanjakan terus tanpa ampun sampai ke POS 3 Pestan. 
Pukul 14.30 finally POS 3 Pestan. Sesuai instruksi petugas simaksi baiknya nge-camp di POS 3 saja meski sebenarnya untuk lanjut ke POS 4 masih ada waktu. Setelah diskusi dengan beberapa teman yang sampai duluan akhirnya diputuskanlah mendirikan tenda di camp area sebelum POS 3 persis dekat warung. Alasannya kalau tepat di POS 3 khawatir badai karena kontur area camp-nya tidak tertutup sedikit pohonpun alias gersang dan gundul serta miring. Selain itu tak memungkinkan juga mendirikan 5 atau 6 tenda untuk tim kami. 
Sebelum sampai POS 3 Pestan sebenarnya ada 2 camp area dan dua-duanya ada warung yang berdiri tegak. Camp area yang persis di bawah POS 3 tersebut ada warung yang mempunyai fasilitas tempat salat beserta toilet. Warung Pak Basori, begitu sapaan bapak si empunya warung . Selain itu di tempat ini juga tertulis sebuah tulisan di atas kayu “Sunset Point”. Yap, meski tampaknya sore itu berkabut siapa tahu semesta berpihak kepada para pendaki yang mendirikan tenda di area itu. Masih terus optimis. 
Baru saja 30 menit sampai di camp area dan beberapa tahap mendirikan tenda hujan lebat disertai angin kencang datang mengguyur. Untunglah ada warung, jadi bisa berlari dan berteduh di sana. Sedangkan beberapa orang teman yang sudah terlanjur membuka tenda melanjutkan memasangnya di bawah rintik-rintik air hujan.
Sore hari meski tidak dapat menikmati matahari terbenam setidaknya cuaca cukup cerah. Hujan reda dan puncak Sindoro di depan mata tampak gagah walau sesekali tertutup kabut. Malam harinya kembali hujan datang mengguyur beserta angin yang sangat kencang. Badai, mungkin. Tapi Alhamdulillah semua tenda dari timku aman.
Camp Area Sunset Point
17 February 
            If you want to catch the sunrise on the top memang baiknya trekking ke puncak bisa dimulai dari jam 2 atau jam 3 pagi. Karena menuju puncak membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Namun, jika tidak terlalu mengejar matahari terbit summit bisa dimulai jam 5 pagi as we did. Salat Subuh terlebih dahulu dan baru memulai pendakian menuju puncak. Jalur menuju puncak identik dengan bebatuan, dari satu tebing ke tebing berikutnya. Dari merangkak dan merayap serta bergelantungan. Dan memang sudah pilihan pas untuk nge-camp cukup sampai POS 3 saja karena trek menuju POS 4 cukup sadis. Se-sadis lagu Afgan. 
            1 jam 30 menit berikutnya barulah POS 4 Watu Kotak. 6.30 pagi. Walau tidak menikmati sunrise dari puncak tapi cukup terobati ketika di suatu ketinggian tebing dapat menyaksikan guratan jingga matahari pagi. Posisinya persis di atas camp POS 3.

             Sekilas tentang POS 4. Pos ini didominasi dengan bebatuan yang banyak. Selain itu juga tak terlalu luas jika ingin mendirikan banyak tenda. Hanya terdapat beberapa tanah yang datar yang memang sengaja diperuntukkan untuk mendirikan tenda. Selebihnya bebatuan, sempit.
Pos 4 Watu Kotak


          Tak berlama- lama di POS 4 pendakian dilanjutkan kembali. Alhamdulillah cuaca cerah mengiringi pendakian menuju puncak. Seperti optimisme hari kemarin dan hari ini langit biru Sumbing benar-benar bersahabat. Bahkan puncak Sindoro juga tampak menawan di seberang disertai dengan puncak-puncak gunung lainnya di belakangnya.
            Pukul 08.00 Alhamdulillah sampai di puncak Sumbing. Start jam 5 pagi dan jam 8 sampai puncak artinya 3 jam pendakian. Perjalanan menuju puncak yang lumayan panjang dengan trek sadis tiada ampun. Aku lumayan lama menikmati keindahan Sumbing sekitar dari ketinggiannya. 1 jam 30 menit. Menunggu tim komplit sampai atas.
            Pukul 09.30 aku memutuskan untuk turun bersama dengan 3 orang lainnya. Sedangkan sisanya melanjutkan pendakian menuju Puncak Rajawali. Konon katanya itulah bukti puncak tertinggi dari gunung 3371 mdpl ini.
            Pukul 11.30 aku kembali tiba di camp area. 3 jam naik, 2 jam turun. Bergegas untuk masak-memasak dan setelahnya packing kembali persiapan turun. Semua perbelakalan logistik yang dibawa tim di habiskan kali ini. Agar mengurangi bawaan turun. Sisanya yang tidak ikut dimasak bisa diberikan saja pada bapak warung yang telah berjaga sepanjang malam di area camp. Atau bisa juga diberikan kepada pendaki lain yang juga membutuhkan.
            Pukul 14.30 turun menuju basecamp. Tadinya aku dan beberapa teman se-tim memutuskan untuk turun lebih awal. Tapi cuaca kurang mendukung. Tiba-tiba saja hujan lebat datang mengguyur seperti hari kemarin. Alhasil menunggu reda sejenak. Lalu barulah turun dengan perbekalan jas hujan dan bersiap menghadapi trek licin. Selama turun juga hujan tidak berhenti. Kadang lebat, kadang gerimis. Jas hujan selalu terpasang di badan.
            Pukul 17.00 Alhamdulillah sampai basecamp. 2 jam 30 menit untuk turun dengan kondisi trek licin karena hujan. Alhamdulillah juga pendakian ini berjalan dengan lancar walau ada 3 orang dari tim yang tidak ikut summit. 1 orang yang cidera tangan ketika naik dan 2 orang lainnya teman yang menemani.
Cheerrsss
            Biaya simaksi Gunung Sumbing adalah Rp15.000,-.
            Rp10.000,- nya adalah biaya tiket masuk Basecamp via Garung dan Rp5.000,- adalah tiket pendakian gunung Sumbing. Sedangkan untuk parkir mobil dikenakan biaya Rp20.000,. Ketika simaksi tim juga dibekali dengan 2 buah peta rute pendakian Sumbing via Garung. Seharga Rp5.000,-/peta. Jadi bisa menjadi acuan untuk tim yang melakukan pendakian.
            Oh ya, di awal aku tidak mention perjalanan dari basecamp menuju POS 1. Nah, sebenarnya di part inilah serunya naik Gunung Sumbing. Untuk menuju POS 1 ada 2 opsi. Pertama dengan trekking seperti biasanya atau pilihan ke dua naik ojek dari basecamp. Jangan bayangkan motor untuk ojek di sini adalah motor bebek atau motor gigi biasa. Tapi ini adalah motor semacam motocross. Entahlah. Mungkin ada beberapa yang sudah mereka remake menjadi gaya ala motocross.
Bedanya dengan trekking? Tentu sangat jauh berbeda selain mempersingkat waktu adrenalin ketika naik ojek ini juga terpacu. Pertama soal waktu. Kalau trekking dari basecamp menuju POS 1 setidaknya memakan waktu 2 jam. Sedangkan kalau naik ojek, cukup 10 menit saja, bro. Tapi jangan harap 10 menit itu adalah 10 menit yang santai sambil senyum-seyum manis di atas ojek menikmati pemandangan. 10 menit itu adalah 10 menit yang membuat jantung berdenyut deg-degan. 10 menit yang membuat nafas tersendak. Dan 10 menit yang takkan pernah berhenti-henti untuk berdo’a. 10 menit yang gokil. kalau pernah melihat adegan film action sebuah motocross yang terbang tinggi, nah di sini dia tempatnya untuk mencoba aksi itu secara nyata. Benar-benar motor yang terbang dengan gas poll terus sampai atas. Ketika bertemu tanjakan berupa polisi tidur, bersiap-siaplah menarik nafas dan menahannya. Parahnya lagi penumpang ketika naik ojek ini duduk di depan motor. Yang bawa motor di belakang dengan menggendong carrier/ ransel pendaki. Bayangkan. Sensasi inilah yang didapatkan ketika memutuskan untuk mempersingkat pendakian menuju POS 1.
            Seru lainnya kita bisa dadah-dadah sok cool kepada pendaki lain yang sedang terkeok-keok nafasnya menuju POS 1. Pasang muka bangga dan senyum memesona karena kita naik ojek sedangkan mereka jalan kaki. Mereka kecapean kita malah pura-pura tersenyum dan menyapa dari atas motor. “Permisi kak, mari kak.” Padahal aslinya muka tegang.
            Tarif ojek ini Rp25.000,- sekali jalan. Aku sempat ngobrol dengan abang ojek  ketika turun. Katanya tarif tersebut pure memang masuk kantong mereka. Paling cuma 3ribu yang harus mereka sisihkan untuk retribusi dan desa. Fair-nya lagi. Ojek dari bawah dan dari atas berbeda-beda. Ketika mengantarkan pendaki ke atas, ojek langsung turun tanpa sewaan. Karena yang bertugas membawa pendaki turun adalah pangkalan ojek yang diatas. Dan hal tersebut mereka atur seadil mungkin.
“Banyak pendaki yang balik lagi ke Sumbing Mbak. Pada umumnya pengen balik lagi karena ingin ngerasain naik ojeknya lagi bukan penasaran sama puncaknya. Kata mereka naik ojeknya lebih menantang daripada menuju puncaknya,” ucap si abang ojek yang aku tumpangi turun sambil berteriak padaku di belakang. Haha. Aku menimpali dan setuju. 10 menit uji nyali di Gunung Sumbing.
Poto atas : posisi duduk di ojek. Poto bawah : trek yg dilalui
Satu hal lagi yang membuat pendakianku kali ini begitu berkesan. Yap, aku memutuskan untuk tidak naik sampai ke Puncak Rajawali. Why? Karena jujur, yang mengetahui batas kemampuanku adalah diriku sendiri begitu juga dengan kalian. Sumbing begitu banyak memberikan pelajaran bagiku. Ya, setiap gunung yang pernah kudaki punya pengalaman berbeda tersendiri. Dan teruntuk Sumbing, aku hampir saja 2x menyerah putus asa. Pertama ketika naik menuju puncak. Di salah satu trek bebatuan yang mengharuskanku nemplok  badan merangkak dan merayap ke atasnya. Aku hampir melambaikan bendera putih dan balik kanan untuk turun. Agak lama aku terdiam. Merenungi kembali apa yang sudah aku lakukan. Tapi Alhamdulillah 2 orang lelaki teman sependakian bersabar dan menyemangatiku dari atas dan bawah. Dengan tekat kuat dan Bismillah aku berhasil melanjutkan pendakian sampai Puncak Buntu (Batu Singa). Anehnya ketika aku memikirkan bagaimana turun melalui trek yang sama, aku malah tidak menemukan kembali trek yang aku takuti tadi. Entah di mana itu. Aku sudah lupa. Melihat treknya yang demikian, bagiku sudah cukup sampai puncak Buntu atau Puncak Singa saja. Aku Alhamdulillah sudah merasa puas dengan pencapaian ini.
Keputusasaan berikutnya aku rasakan ketika turun dengan kondisi hujan dan trek didominasi licin. Hampir juga diriku berontak. Naik bagai spiderman (merayap-rayap) dan turun bak nenek-nenek begitulah rupanya pendakian kali ini. Turun aku lebih banyak mengalah dengan trek, merunduk daripada terpeleset dan fatal.
Dua kali hampir berada di titik putus harap aku lalui selama pendakian Sumbing ini. Dan kedua-duanya berhasil aku lalui dan kalahkan. Aku yakin, siapapun itu pendaki lainnya di luaran sana pasti pernah mempunyai kisah tersendiri di setiap puncak yang mereka capai. Pasti pernah mengalami pergolakan jiwa. Pasti pernah menulis cerita mereka tersendiri. Alhamdulillah. Dan inilah ceritaku. Terima kasih Sumbing. Terima kasih teman-teman pendakian. Terima kasih semesta. Terima kasih Wilda Hikmalia.
Thanks for my team : Khair, Eko, Heri, Rian, Ambon, Usro, Wawan, Abdee, Calvin, Deky, Hendri, Anggara, Tio, Nano, Andis, Amir and me. 14 orang lelaki tangguh dan 3 orang perempuan perkasa. Could you mention yang namanya perempuan mana saja? 


Visit my Instagram account for more pictures @wildahikmalia J

You Might Also Like

2 Comments

  1. Sepakat banget uni! Hanya diri sendiri yang bisa mengukur kemampuan diri. Puncak gak pernah kemana-mana, kita aja yang kemana-mana hehe.. Setiap gunung punya karakteristiknya masing2, dan di Sumbing jugalah Rian belajar banyak banget.. terima kasih uni udah berbagi cerita yang Rian gak rasain langsung, yaitu turun hujan2an melewati trek penderitaan Engkol-engkolan.. hehehe tetep semangat uni .. miss you 😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaahh pengen nangis lagi rasanya ngebayangin turun engkol-engkolan sambal ujan-ujanan. miss u too sis. sampe ketemu di puncak lainnya.

      Hapus