Petualangan Gila Menuju Air Terjun Tumpak Sewu (Part 2)

Mei 03, 2019

Masya Allah … aku tak bisa lagi berkata apa-apa ketika sudah berada di tengah-tengah air terjun. Melihat sekeliling, ke atas dan ketakjuban datang tiada henti. Maha Besar Allah dengan ciptaan-Nya. Di bawah rintik hujan aku tertegun menyaksikan betapa Maha Agungnya ciptaan Tuhan ini. 
            “Jangan lama-lama. Maksimal 10 menit. Langsung balik. Di atas hujan deras, takut banjir. Kalau banjir cari tempat tinggi, jangan nyebrang dulu sampai air surut.” Bapak petugas yang menyambut kami turun dari tebing memperingati. Dia menunggu di bawah ketika tahu masih ada empat orang yang baru turun dan belum sampai. Komunikasi dengan HT sangat membantu untuk memantau setiap pengunjung yang turun ke bawah. 
            “Masih ada orang lain ga pak di sana (air terjun)?” balasku sambil agak berteriak. Air hujan dan derasnya aliran sungai membuat suara agak terdengar bias. 
            “Ada satu bule. Nanti diajak sekalian balik ya. Bilang jangan lama-lama,” tambah si bapak. 
            Dari turun jurang menuju air terjun masih dibutuhkan trekking sekitar 2-3 menit. Treknya persis menyusuri aliran sungai. Dengan kondisi hujan seperti ini harus sangat hati-hati, jangan sampai terpeleset atau bahkan jatuh ke sungai. Aliran airpun sudah tidak bening seperti seharusnya. Keruh karena di atas hujan deras. Tebing-tebing tinggi masih mendominasi. Berkelok-kelok, lalu sampailah di titik yang dituju. 
Masya Allah, Maha Besar Allah SWT dengan ciptaan-Nya. Melihat ke atas, sekeliling dan merasakan aliran air hujan menempa wajah adalah rasa syukur tak terhingga. Finally, traveling’s bucket list pertamaku tahun ini tercapai. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Nope, Mas Eko dan Mas Dedy, Annisa juga. Kalian adalah travelmate luar biasa.
Tengkis gees (dipotoin Arben)
         Di bawah rintik hujan rasa haru tak sedikitpun membuatku kecewa. Walau hujan ada sensasi tersendiri yang menyelusup ke dalam hati. Seperti info bapak petugas tadi tidak ada pengunjung lain hanya kami berempat di tambah seorang teman baru, Arben dari Swedia. Dia datang seorang diri ke air terjun ini lewat jalur Tumpak Sewu. Setelah menyapa kami mengajak untuk mengabadikan momen sejenak. Lalu segera balik kanan, melewati jembatan bambu menyeberangi sungai dan segera merapat ke sebuah warung yang menjadi pos terakhir sebelum mencapai inti air terjun. Di sini jugalah bapak petugas yang menyapa tadi stand by memantau kondisi terkini air terjun dan mengawasi para pengunjung agar taat aturan sesuai dengan instruksi.
The one and only warung yang berdiri
         Derasnya air hujan tak kunjung jua reda. Malah makin lebat membasahi. Aliran sungai mulai meluap, membawa serta air-air berwarna kecoklatan yang jatuh dari atas. 
“Sudah dipastikan ini di atas hujan lebat dan banjir,” jelas si bapak petugas. 
Sembari menunggu hujan reda tidak ada yang lebih nikmat selain menyeduh secangkir kopi atau susu jahe favoritku di tambah semangkok Indomie rebus. Lalu mulailah cerita-cerita kecil kami selingi sembari menunggu hujan reda. Tertawa gelak mengingat kembali perjuangan turun tadi dan menertawaiku betapa pucat dan tegangnya wajahku. Lalu cerita-cerita lainnya dari teman seperjalanan termasuk Arben yang sudah menjadi tim dan saksi ketangguhan kami ketika turun tadi. Dia masih tak habis pikir melihat keberanian kami. Ketika dia berada di bawah dan menatap ke atas tebing, 4 anak manusia menggantung di sisi jurang,  how crazy we were. 
Here we're -pose dalam warung
         Beberapa pengunjung lainnya juga masih ada yang berdatangan dengan baju bawah. Guyuran hujan tak mematahkan semangat mereka untuk tetap lanjut. Tapi sayang sampai di warung ini di cegat oleh petugas. Belum bisa ke titik air terjun karena banjir. Tadinya aku juga berniat untuk menunggu sejenak hujan reda dan kembali ke titik air terjun untuk mengambil potret view yang aku inginkan. Tapi apalah daya hampir satu jam lebih hujan tak jua berhenti. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung balik saja. Biarlah walau foto tidak semegah yang dibayangkan tapi setidaknya memory sudah terekam oleh mata dan pikiran secara langsung. Sesungguhnya itulah kenangan yang akan selalu abadi.
            “Ayok Mbak kita balik lewat jalur tadi lagi,” guyon mas Eko.
            “Oh oke Mas, makasih. Silakan sampean aja. Gue ga bakalan mau lagi,” jawabku tegas dan mencibir. Mereka kompak tertawa mendengarnya. 
Tebing maut yang kami lewati 
            Untuk balik tadinya kami akan melewati jalur Tumpak Sewu, jalur yang tadi Arben lewati ketika berangkat. Tapi ternyata info dari petugas jalur tersebut longsor bahkan riskan dilewati ketika curah hujan tinggi seperti ini. Seorang petugas lainnya, mengantarkan kami (aku, Nope, Mas Eko, Mas Dedy dan juga Arben) menuju jalur lain. Katanya ini jalur via Goa Tetes dan lebih aman. Awalnya Arben agak ragu ikut bersama kami karena jalurnya beda dengan yang tadi. Tapi syukurlah setelah diberi pengertian dia akhirnya mengikut. Demi keselamatan. 
            Ternyata tidak hanya kami berlima yang ikutan balik. Ada satu rombongan keluarga yang turut serta. Tadinya mereka sudah sampai di warung terakhir karena tidak dibolehkan ke pusat air terjun mereka memutuskan untuk kembali juga. Khawatir nanti hujan makin deras dan makin susah untuk balik. Yang membuatku ternganga mereka membawa serta seorang balita, bocah lelaki kecil yang digendong oleh bapaknya. Whaatss… Jalur balik ini memang tidak segila jalur pas turun tadi, tapi tidak jaminan juga lebih aman dan nyaman. Karena nyatanya kami harus menyeberangi sungai dengan arus yang lumayan kuat dan tentunya sesekali menemui batu licin yang kapanpun bisa membuat terpeselet dan wassalam. Alamaak, ternyata belum juga tuntas kekejaman treknya. 
Kalau ketika turun aku berpatokan pada Nope, kali ini beralih ke bocah kecil yang membuatku semangat. Dia saja dengan beraninya bisa melewati ini semua bahkan kadang dengan jalan kaki ketika tidak digendong oleh bapaknya. Sedangkan aku? Ah sudahlah, pokoknya harus bisa melewati ini semua, batinku.
Itu loh paling depan bocah yang digendong bapaknya
           Terkadang aku suka heran dengan orang-orang yang suka jalan-jalan ke tempat ekstrem dan membawa serta anak kecil (balita) tanpa persiapan atau safety yang seharusnya. Atau kalaupun siap dengan safety standar, tidakkah mereka berpikir kembali untuk membawa bocah kecil mengarungi petualangan yang sejatinya bagi orang dewasa saja sudah sangat menantang? Hhhhm, kalau atas dasar pengajaran sih ya bisa saja cari destinasi yang sesuai. Tapi ya itu tadi, kembali lagi saja terhadap niat dan keputusan masing-masingnya. Intinya apapun itu bentuk perjalanan, usahakanlah selalu agar keselamatan tetep menjadi prioritas nomor satu.
            Keuntungan mengikuti jalur Goa Tetes ini adalah akan menemukan air terjun lainnya yang tidak kalah indahnya. Mengarungi sungai, dengan tebing tinggi berwarna hijau dan air terjun cantik basah menuruni jalurnya membuat pesona yang menarik mata. Masya Allah, seolah sedang berada di antah berantah dengan kombinasi yang sempurna. Walau tetap treknya membuat dag-dig-dug-der. Beberapa kali aku bahkan (hampir) terpeleset dan jatuh. Sekujur badanpun sudah basah karena air hujan dan trek pulang ini.
          Mendekati ke atas akhirnya kami sampai di area Goa Tetes. Sebuah goa berpintukan air terjun. Katanya bisa saja kalau ingin masuk ke dalam goa, tapi tetap tidak aman karena bebatuan yang dilalui air licin dan berlumut. Tapi ketika sampai di sini aku kembali bersyukur bisa menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata selain hanya asma-Nya yang terucap.
Goa Tetes
          Makin ke atas, trek juga makin lumayan. Licin dan bertopangkan tangga bambu. Atau sesekali merayap di jurang dengan bantuan tali. Ke atasnya lagi sampailah pada trek beton berbentuk tangga. Tantangan lainnya. Tapi sudah keahlianku melihat trek seperti ini. Tak elak ketika sudah melewati trek kejam dan gila sebelumnya aku bahagia mendapat trek tangga seperti ini. Menatap ke belakang, melihat rimbunnya hutan hijau di belakang dan berterima kasih kepada Tuhan Alhamdulillah akhirnya Tumpak Sewu berhasil aku lalui.
            “Ayo Mas Dedy. Aduh gitu doank masa bentar-bentar istirahat,” aku membalikkan kembali ejekan yang aku terima dari Mas Dedy. Tadi ketika turun dia selalu senyum-seyum meledek ketika aku  mengomel dan sekarang dia agak terseok-seok ketika naik. “Ayoo, masa gini doank ga sanggup,” lanjutku sambil tersenyum penuh canda.
            “Sekarang gue nih yang benci sama lo. Mentang-mentang ya,” ucapnya.
            “Haha. Gue mah kalau trek kayak gini cincai mas, asal jangan kayak trek tadi aja. Kapok.”
Beberapa trek disediakan tali pegangan seperti ini
         Ketika naik aku sempat berpapasan dengan beberapa pengunjung yang mau turun dan aku menasehati untuk segera balik kanan saja. Karena trek masih panjang, hujan, licin dan parah. Ditambah lagi aku melihat sandal yang dipakai seorang cewek turun adalah sandal trendy. Alamak. Dia tidak browsing dulu apa ya untuk melihat treknya. 
Nope dan Arben sudah mendahului di depan, aku di tengah-tengah lalu Mas Dedy dan terakhir Mas Eko yang jalan dengan sangat hati-hati demi kameranya. Untung saja ada mas Eko yang masih berkenan mengeluarkan kameranya sehingga dapat mengabadikan beberapa momen. Sedangkan aku sejak dari turun tadi langsung mengamankan kamera karena hujan dan demi keselamatanku. Membawa badan saja sudah susah apalagi ditambah kamera.
         Alhamdulillah siang menjelang sore itu kami semua sampai dengan selamat persis di depan pintu masuk Goa Tetes. Di sini kami berpisah dengan Arben. Dia melanjutkan jalan kaki menuju pintu masuk Tumpak Sewu. Sebelum berpisah tak lupa kami saling bertukar kontak. Siapa tahu takdir nanti berkata lain mempertemukan kami kembali. Atau bisa jadi punya rejeki suatu hari nanti bertapak di Swedia. Aamiin. Lalu aku mulai menelpon pak Budi mengabari untuk menjemput di Goa Tetes. Ah Annisa mungkin juga sudah was-was menunggu kami yang tak kunjung kembali ke atas. Malah mungkin bisa jadi kocak, berangkat lewat jalur mana, pulang jalur mana. Tak sesuai rencana. Tapi syukurlah ada opsi lain untuk kembali pulang. Kalau saja tidak ada, mungkin aku tidak akan pernah sampai di titik inti Tumpak Sewu.

Sekitar 30 menit berikutnya Pak Budi datang bersama Annisa dan kembali aku berceloteh. “Untung Sa, gue masih hidup.” Celotehan yang sama ketika dulu aku keluar dari Anambas dan bertemu Annisa di Bintan. Arrggghhh, petualangan yang benar-benar gila. 

            Ketika di Jakarta aku mengingatkan Annisa dan Nope untuk membawa baju ganti ketika mau ke Tumpak Sewu. Tapi nyatanya kami lupa. Seluruh baju yang kupakai di badan sudah basah kuyup. Kalau dipaksakan pakai sampai Malang aku tidak jamin badanku akan kuat. Untunglah di sekitar ada warung warga yang menjual pakaian. Alhasil aku merapat ke sana fitting beberapa baju bahkan sampai dalaman sekalipun aku beli baru dan ganti.
Selesai sholat perjalanan kami lanjutkan kembali. Meninggalkan Tumpak Sewu yang sudah memberiku pelajaran hebat. Menguji kembali titik ketakutan dan kelemahanku. Aku sama sekali tidak mengalahkannya, hanya saja aku berusaha mengimbanginya. Mengimbangi ketakutan-ketakutan yang membuatku semakin takut. Terima kasih Tumpak Sewu, terima kasih kalian wahai teman perjalanan, terima kasih Tuhan. Alhamdulillah.     
See u next time gees
Photos contributed by @jafie_firdaus

Artikel ini adalah bagian dari long trip-ku di Jawa Timur 1-5 Maret 2019. Monggo dibaca juga cerita lainnya :
4.    Goa Tetes
5.    Madura

You Might Also Like

0 Comments