Demi Pananjakan II Bromo

Oktober 06, 2014

Kisah perjalanan Long Trip Lebaran 2014 (24 Juli–5 Agustus 2014): Jakarta-Purwokerto-Wonosobo-Dieng-Jogja-Probolinggo-Bromo-Rakum-Malang-Bandung-Jakarta   
Puncak Mahameru berdiri tegak dengan Puncak Batok
 Story sebelumnya disini

Malam ini tak sekejap pun mata dapat ku istirahatkan. 2 jam tersisa sebelum angka 12. Miring kiri-miring kanan, dzikir, do’a, ayat-ayat pendek dan segala macam cara  telah aku coba untuk merehatkan bola mata ini.  Akh … hatiku yang tidak tenang. Mereka ‘menyiksaku’ . Bagaimana tidak, sebelum beranjak ke alam mimpi aku memastikan lagi kepada 2 wanita ini

“ Alarm jam 12 sudah dipasang kan, Lien, Ana? Takut ketiduran. “ 

Dengan entengnya sambil guyonan becanda Liena menjawab,

“ Ya kalo ketiduran, yo ga jadi .“ sahut dia sembari menarik selimut.

Lha piye iki ?
Jauh-jauh dimari tak jadi menyaksikan golden sunrise Bromo? Aku tahu itu hanya sebuah lelucon yang menggodaku. Tapi bisa jadi juga. Tidur hanya 2 jam dan setelahnya sudah mesti bangun. Bablas. Oh tidak bisa. Aku kalut. Aku membiarkan sang juru kemudiku untuk terbuai sesaat dulu di alam tidur karena dialah yang nantinya akan menjadi my private driver menuju Bromo dan selanjutnya. Oke, bagiku tidak masalah . Fisikku masih mendukung walaupun malam sebelumnya juga kurang tidur di Jogjakarta dan malam ini kembali memaksaku tak dapat memejamkan mata.

Ana, Liena dan Mas Imran tampak sudah berlayar dalam buaian tidur. Dan Aku. Tidak bisa sama sekali memicingkan mata ini.

Keluar kamar akhirnya aku memutuskan untuk menghirup angin malam dan menata ransel terlebih dahulu. Dan betul juga, aku jualah yang pada akhirnya memaksa mereka bertiga segera bangun setelah jarum itu tepat menunjukkan 00.00 .

“Bangun-bangun …. Siap-siap !!! “ seruku mengomandoi mereka .
----
Jam 1 dini hari.
Perlengkapan tempur kami sudah siap. Masing-masing sudah mengenakan peralatan perang mereka. Ya … Perang dingin yang akan menyerbu kami ketika akan sampai di Pananjakan Bromo.

“ Terima kasih ya Mas Arif buat semua “ itulah kata perpisahan yang kami utarakan kepada kawan yang satu ini.

Sebuah kata yang melebihi kebaikan yang telah diberikan.

“ Siap Lien? “ Aku memastikan lebih mantap lagi sebelum menaiki motor.
“ oke “
“ Bismillah “

Petualangan dimulai.

Jam 1 dini hari perjalanan kami putus garis start dari Probolinggo menuju Pananjakan II Bromo dengan 2 tumpuan harapan yaitu 2 motor dan 2 kemudi ( Liena dan Mas Imran ) .
Plang hijau penunjuk arah adalah patokan jalan bagi kami menuju Cemoro Lawang. Tidak sulit karena cukup jelas dan jalanan yang tidak terlalu berliku.
Selamat pagi Probolinggo, terima kasih sudah menjadi persinggahan bagiku menuju Pananjakan II Bromo.

Kemudi motor dipacu dengan kecepatan sedang beriringan. Aku tak henti-hentinya mencari topik pembicaraan untuk mengajak Liena berbicara. Aku tak mau sedikitpun dia lengah dan kantuk menghampirinya ditambah lagi sepoian angin dingin sang malam yang membelai sepanjang perjalanan. Do’a pun tak luput dari setiap helaan nafasku. Semoga perjalanan kami selamat sampai tujuan.

Perlahan kami beranjak jauh meninggalkan Kota Probolinggo. Rumah penduduk satu persatu menghilang dari pandangan dan hutan belantara kiri-kanan kini mengapit kami. Gelap. Sunyi …. Sebelum terlalu jauh naik kami berhenti sejenak disalah satu POM Bensin untuk mengisi bahan bakar. Satu hal yang perlu diingat jika memutuskan menggunakan kendaraan pribadi menuju Cemoro Lawang. Persiapkan bahan bakar semaksimal mungkin !!!

Semakin menuju ‘atas’ udara sudah mulai menusuk tulang. Dingin mencekam ditambah sapuan udara yang menerpa laju motor. Hutan kiri kanan pun tak mau kalah makin menampakkan keseraman dinginnya di dini hari ini. Masih ada beberapa jeep dan mobil pribadi yang memotong kecepatan kami, tapi tak ketinggalan ada juga kendaraan yang mandat / mogok pas tanjakan yang berliku tajam.

“ Matic yang aku tumpangi, kamu harus tangguh ya sampai puncak “ kembali aku memuji Matic Liena ini akan ketangguhannya.

Hamparan kabut pagi membalut Kawasan Taman Nasional Bromo
Sekonyong-konyong motor didepan kami berhenti mendadak.

“ Kenapa? “ Tanya Liena  setelah menepikan si matic di depan motor yang berhenti itu.
“ Ban nya kempes “ jawab Mas Imron dengan seringit kerut kening.

Haaa … sontak aku terkaget mendengar jawaban itu. Ditengah hutan. Tanjakan. Dini hari.
Oh Tuhan .... ban belakang motor Mas Imron menyerah.

Aku berusaha untuk tenang menghadapi accident ini. Mencoba memeras otak mencari solusi sekilat mungkin. Kami berempat terjebak didinginnya malam ini. Panik tapi tetap berusaha tenang. Mengecek kondisi ban, mempertimbangkan barang bawaan dan mencari jalan keluar.

Aku pun tak tinggal diam. Langkah kami sudah setengah. Turun lagi tidak mungkin. Dipaksa naik, tapi motor bagaimana ? Jeep – jeep dan mobil yang lalu lalang masih sesekali melewati kami. Aku tidak kehabisan akal. Aku berusaha meminta pertolongan pada mereka. Setidaknya tumpangan untuk 1 orang teman dan 1 carrier besar yang berisi tenda bisa mengurangi beban kami. Setiap melihat secercah cahaya dari bawah aku segera berlari ketengah jalan raya melambaikan tangan. Berharap ada yang penuh kerelaan menolong kami di tengah hutan pagi ini memberi tumpangan sampai Cemoro Lawang. Tapi beberapa jeep berlalu begitu saja dengan kecepatannya tanpa mengindahkan kami. Ada 1 mobil pengangkut sayuran yang berhenti, bertanya dan kemudian ‘say good bye’ karena tidak dapat menolong kami dengan muatannya yang sudah penuh. Jerihku bercampur kesal, kenapa jeep-jeep yang mau ke atas tidak satupun sedikit menoleh  kepada kami. Memberi tumpangan hanya sampai perkampungan / rumah penduduk atau hanya sekadar bertanya dan mencarikan solusi atau apalah hal-hal kecil yang dapat menunjukkan kepedulian mereka. Aku dapat melihat dengan jelas kedalam jeep yang tanpa berpenumpang itu dengan bantuan lampu dalam mobil. Akkhh ,,, sesekali aku menggerutu. Tapi tak lama aku tersadarkan. Mungkin situasinya tidak memungkinkan. Ini ditengah hutan. Di gelapnya malam. Yaaa,, bisa jadi mereka memikirkan hal lain tentang kami. Sudahlah.

Akhirnya cara pertama kami tempuh. Satu motor 3 orang dan motor yang merengek dipaksa naik dengan beban 1 penumpang. Cukup membantu walau hanya bertahan beberapa saat. Tapi tidak setelah itu ban motor benar-benar tewas. Dorong. Ya ... itulah satu-satu cara yang tersisa. Oke ... aku tidak mau mengeluh . Ini tantangannya. Ini kenangan yang tak kan pernah bisa aku lupakan dan disinilah kisah itu akan selalu tertoreh. Dinikmati dan dijalani sahaja.
----
Saat-saat seperti ini aku mohon agar rasa kantuk tidak menghampiriku. Olahraga pagi ini mendorong motor dijalanan tanjakan sampai menuju Cemoro Lawang aku anggap sebagai pelatihan pendakian.

02.45 Pagi. Kami sampai di Desa Cemoro Lawang. Mencari bala bantuan bengkel / tempat tambal ban. Bertanya kepada beberapa orang penduduk lokal dan berharap segera dapat mengoperasi ini motor.

“ Ada . Kira-kira 500m lagi di sebelah kiri jalan “ tunjuk seorang Bapak tua .

Kami segera memacu kecepatan jalan. 1 motor nge-drop 1 orang terlebih dahulu. Seakan didepan sana adalah oase dipadang pasir yang kami cari-cari. Oh bukan. Lebih tepat penggambarannya adalah sebuah api unggun yang sedang menyala besar di puncak gunung yang dingin. Sangat menentramkan setiap jiwa. Ya ... akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang banyak terdapat ban-ban motor atau mobil di plataran rumahnya. Berharap menyediakan jasa tambal ban.

CLOSE !!!

Ohh tidaaaak ....

Kami berempat masih terbengong-bengong dengan kejadian ini. Dan aku..... perlahan-lahan mataku redup, kantuk itu akhirnya mulai kurasa ditambah dinginnya Bromo yang mulai menyapa.

Tapi .... kami masih belum menyerah. Kami berusaha mengedor-ngedor pintu rumah-bengkel itu. Memohon bantuan. Tapi …. Tetap tiada jawaban.

Kembali seorang bapak ada yang mengarahkan kami ke lokasi lain.

“ Di tanjakan sebelah kanan sebelum pos, itu ada tukang tambal ban.Perawakan bapak bersarung dan bersebo membantu kami.

Lagi ..... jalan kaki masih dilanjutkan sedikit lagi. Kuangkat ransel. Kulapisi penutup kepala karena dinginnya serasa makin merambat ke rongga-rongga telinga. Kumakin dekap erat sang jacket merah. Keep calm Wilda … jangan mengoceh! jangan salahkan keadaan! ikhlaskan saja. Setidaknya aura positifku tidak juga ikut tertidur pagi ini.

Ya ... benar . Ini adalah tempat tambal ban yang dimaksud oleh Bapak itu. Kami berusaha memanggil  si empunya yang didalam rumah. Lampu ruangan gelap, menandakan penghuni sedang istirahat. Ketukan pintu, jendela kaca pelan-pelan mencoba membangunkan si tuan rumah.

“ Permisi  (ketuk 3 kali) …. Pak .. Buk …. Permisi (ketuk 3 kali)… pak … Buk “ ucapan dan aksi itu tanpa menyerah.

“ Baru buka nanti jam 7 .Terdengar suara sautan dari dalam.

Ha ….  Jam 7 pagi ????

Aku tidak percaya ini . Ingin rasanya agak sedikit marah , tapi ..... ya sudah lah NO MENGELUH !!! Aku pasrah walaupun pagi ini kembali aku tidak dapat menyaksikan sang matahari itu menjamah bumi (setelah gagal Sikunir).

Tapi tidak dengan  Liena. Dia keukeh menyuruhku sampai ke Pananjakan II sesuai dengan rencana awal.

“ Kalo aku kapan-kapan bisa balik lagi. Kamu lo, dari Jakarta kapan lagi kesini “ alasan kuat dia kepadaku.

Dia mendapat ide untuk mencari 2 ojek untuk aku dan Ana. Baginya kami berdua adalah prioritas.

“ Kita cari ojek. Biar aku dan Mas Im tunggu disini sampai jam 7 . Setelah motor kelar nanti kami jemput kalian di atas “ ucap dia memaksa.

Tidak …. !!!

Aku langsung menolak mentah-mentah ide itu. Bagiku datang bersama-sama dengan tujuan yang sama dan harus mencapainya secara bersama pula !!! Tidak ada negosiasi lain.
----
Jam 03.15 pagi itu  dan keramaian pun makin terlihat. Mobil-mobil, jeep-jeep bahkan motorpun berpacu keatas menuju Pananjakan I atau Pananjakan II. Karena memang dua spot inilah tempat yang bagus untuk menyaksikan matahari terbit membelah kawasan Gunung Bromo dan Panjakan II adalah yang tervaforit dengan medan pendakian yang menantang serta akses jalan yang masih off road. Dan kami … berempat … masih menunggu di depan tampal ban yang masih gelap. Diam … tiada masukan .

Tiba-tiba aku terlonjak. Melihat sekumpulan kawanan motor yang berhenti di pertigaan pos. Seolah sebuah ilham merasuki batinku, menjalar melalui darah, mengalir cepat sampai keotak dan memerintahku untuk segera bangkit. Aku berlari kecil menghampiri mereka, mencoba mencari tebengan tumpangan untuk ke atas. Ide brilliant ini muncul tiba-tiba.

Oh … Semesta  belum jua mendukung.  Ternyata salah seorang teman dari mereka juga mengalami nasib yang hampir sama seperti kami. Kehabisan bensin.

 O… o … o …

Dari dua peristiwa tersebut aku dapat menarik kesimpulan . Jika memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi menuju Pananjakan Bromo demi mengejar sunrise perhatikanlah hal-hal penting sebagai berikut :

  • 1.      Cek kondisi kendaraan anda semaksimal dan seteliti mungkin
  • 2.      Cukupilah bahan bakar kendaraan, karena lewat Cemoro Lawang sudah tidak akan ditemukan lagi POM Bensin kecuali penjaja BBM kecil dipinggir jalan
  • 3.      Siapkan stamina badan melawan dinginnya Kawasan Bromo
  • 4.      Berdo’a

---
Jarum jam terus bergulir tanpa pandang bulu mengasihani kami. Dinginnya makin menjadi-jadi. Kebisuan masih membekam kami berempat. Tapi Liena sesekali masih terus memaksa aku dan Ana untuk melanjutkan misi ke Pananjakan II.

“ Oke aku ada ide. “ Sekonyong-konyol aku kembali terlonjak jitu mendapat tahta ilham ini. Aku yakin ini pasti berhasil.

“ Motor kita taro sini dulu, kita titip sama Bapaknya . Kamu dan Mas Imran 1 motor sedangkan aku dan Ana naik ojek.”

Ya .. ide ini adalah yang terbaik menurutku . Demi kebersamaan .

Aku dan Liena segera turun kebawah kembali kesebuah pos pertigaan yang mana banyak jeep dan suasana yang sedikit ramai. Dan …. Proses negosiasi dimulai !!!

Aku menemui seorang bapak penjaga pos dengan 1 orang temannya . Ketika kami bertanya untuk dimintai pertolongan dengan enteng sang Bapak menunjuk kearah sebuah papan yang tertulis Cemoro Lawang – Pananjakan II Rp 135.000,-

What ????

Harga tersebut sangat mencekikku. Aku melirik Liena memberi kode negosiasi dengan bahasa jawa. Dimulai dari cerita-cerita silsilah kami mencari ojek dan dibumbui dengan candaan lain khas bahasa jawa. Ternyata si bapak juga tidak menyerah akan nego harga dari kami. Mereka terus memaksa aku harus membayar sesuai dengan harga yang tertera dipapan walaupun cuma hanya mengantar sebentar sampai pos terakhir Pananjakan II dan setelah itu kelar tanpa harus menunggu kami lagi. Adu mulut pun berlangsung beberapa menit. Sesekali aku faham dengan logat jawa halus tentang apa yang mereka bicarakan. Tawaran pertamaku meluncur 2 motor 70.000 . Jelas mereka menolak mentah-mentah. Pelan-pelan tawaran aku naikkan 75.000. Masih belum mempan. Akhirnya pelor terakhir aku luncurkan . Tawaran ‘skak mat’ …

 “ Udah gene aja deh Pak, kalo bapak mau 2 ojek 90.000 sampai Pananjakan II abis itu bapak turun. Kalo mau syukur, kalo engga juga ga apa-apa. Wis “ aku melirik Liena dan menariknya pelan menyuruh berlalu. Si bapak tampak masih memikir tawaranku, keraguan tampak diwajahnya yang saling berpandangan dengan teman yang satunya . Aku membaca tanda itu. Mereka pasti mau. Disaat itulah sebelum mereka membalas ucapan terakhirku, rudal ke dua aku luncurkan

“ Sayang lo pak, nolak rejeki pagi-pagi gini. Pamali.. Ini rejeki awal, siang nanti siapa tau ada rejeki yang lebih besar lagi apalagi mau bantu kami. Membantu orang yang kesusahan dan butuh pertolongan pahalanya besar lo .“ Lanjut rayuanku tanpa henti dan berharap mereka menangkap maksudku

“ 100 ribu ya “ akhirnya angka itu keluar dari mulut si bapak.

Yes … targetku masuk !!! 2 motor 100.000 ke Pananjakan II . Akhirnya,, ilmu tawar menawarku berhasil lagi kali ini. Memang sebenarnya budget maksimalku 50.000 untuk ojek pagi ini, dan dengan kemampuan ‘dagang jasa’ ini aku memulai taktik dari harga terendah. Haa haa

“ Oke .. deal “
----
Dua motor bapak si penjaga pos ini mulai memacu dalam balutan dingin Bromo. Liena dan Mas Imran sudah terlebih dahulu meng-gas motor mereka didepan pun juga dengan ojek Ana. Tapi, belum separuh perjalanan, aku merasakan ada hal ganjil dari bapak ojek yang membawaku. Tiap tanjakan / turunan atau menyalip mobil dia selalu hampir kehilangan kendali bahkan beberapa kali motor oleng dan na’as pun bisa terjadi. Tak elak aku pun menasehati, bertanya dan memastikan.

“ Kenapa pak, bisa ga ? “ Tanyaku tambah ragu akan kemampuan pria tua ini.
“ Makanya pegangan neng, jalannya memang agak susah. “ Aku tahu dia mencari-cari alasan.
Aku tak henti menelisik tajam dan terus mengarahi laju kendaraan.

“Ambil kiri pak !!!” Komandoku disaat jeep-jeep mulai berhamburan dijalanan dan menghalangi laju setiap kendaraan.

Pria berkalong sarung ini terus kagok setiap berpapasan dengan kendaraan lain. Akh … aku mulai membatin dan puncaknya pas pendakian dia tidak lihai dalam dunia per-motoran dan mengakibatkan tiba-tiba motor mundur dan aku segera turun untuk menyelamatkan diri dan menghindari hal yang sangat tidak aku inginkan. Tensiku naik. Ditambah lagi teman-temanku sudah terlebih dahulu menghilang.

“ Bapak duluan aja, biar saya jalan keatas !!!” Perintahku dengan kekeselan . Aku kembali pasrah kehilangan jejak teman-teman dipertigaan dan HP pun mati tanpa daya.

Ternyata tidak, persis dipertigaan itu Liena, Ana dan Mas Imran menungguku dengan cemas. Segera aku mengomel tak karuan …

“ Akh parah tu si bapak . Mau jatuh tahu “ aku me-dumel pada 3 sekawanku ini .
Mereka juga menghawatirkanku. Ternyata si pria tua ini baru bisa bawa motor.
“ Oh …  God, “ syukur aku masih selamat.

Rentetan kejadian ini , makin membuatku geleng-geleng kepala. Tapi kemudian aku tersadar, tidak berhak juga aku sepenuhnya menyalahkan bapak tua ini. Oke .. ini adalah pengalaman dan bukti akan sebuah perjuangan demi Pananjakan II .

Melanjutkan perjalanan berikutnya aku terus berhati-hati dan kejadiaan fatal itu tidak hanya sekali – dua kali bahkan hampir tiap saat si motor bisa tergolek indah ke tanah. Dan aku tak henti-hentinya menyeru nama Tuhan dan menghela napas panjang demi sebuah perjalanan. Walaupun begitu, tepat pagi ini sebelum sang Mentari datang menjelang Alhamdulillah kami berempat sudah berada di parkiran terakhir Pananjakan II dan bersiap mendaki menuju titik akhir sebuah spot sempurna untuk menyaksikan kemewahan sunrise di Taman Nasional Gunung Bromo. Dan aku …. Mengusap tangan mencari seberkas kehangatan setelah melewati badai panjang dari jam 1 dini hari tanpa sekejap kantuk dan lelah menjamahku. Terima kasih Tuhan , semua terlewati. Trek pagi ini kami langkahkan pendakian menuju Pananjakan II dalam raba-an mendaki mengikuti para hikers lainnya.

Sang Mentari, tunggu aku … Aku datang .

Bersambung disini

Pesona keindahan kawasan Bromo 

You Might Also Like

0 Comments